BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Islam didefinisikan sebagai wahyu yang diturunkan kepada
nabi Muhammad saw. sebagai pedoman untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadi,
inti Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad. Kita tahu bahwa
wahyu itu terdiri dari wahyu yang berbentuk al-Qur’an, serta wahyu yang
berbentuk hadis, sunnah nabi Muhammad saw.[1]
Wahyu sebagai sumber asli seluruh pengetahuan memberi
kekuatan besar terhadap bangunan pengetahuan bila mampu mentransformasikan
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Wahyu juga memberi sumbangan
intelektual yang tidak terjangkau oleh kekuatan rasional dan empiris, sehingga
wahyu dapat dijadikan sebuah rujukan pencarian suatu ilmu pengetahuan. Di
samping itu, wahyu memiliki sambungan vertikal, yakni dengan Allah SWT yang
menguasai seluruh alam raya ini.[2]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa maksud Islam
sebagai agama wahyu?
2.
Bagaimana ciri-ciri
Islam sebagai agama wahyu?
3.
Apa pengertian
wahyu?
4.
Bagaimana
epistemologi wahyu?
5.
Apa saja bentuk-bentuk
wahyu?
6.
Bagaimanakah posisi
akal terhadap wahyu?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Islam Sebagai Agama
Wahyu
Agama dari segi sumbernya bisa dikelompokkan menjadi
agama budaya dan agama samawi. Agama budaya adalah agama yang bersumber dari
akal atau pemikiran manusia. Sedangkan agama samawi sering disebut juga sebagai
agama langit, agama prophetis, yaitu agama yang berasal dari wahyu Allah kepada
rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang termasuk dalam
kelompok agama wahyu ini adalah agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Namun dalam
kenyataan yang sebenarnya Islam adalah satu-satunya agama samawi. Dalam
bentuknya yang asli (ketika masing-masing diturunkan kepada nabi Musa a.s. dan
nabi Isa a.s.) keduanya (agama Yahudi dan Nasrani) merupakan agama samawi,
dalam pandangan al-Qur’an keduannya ini adalah Islam. Karena nabi Musa dan Isa
adalah seorang muslim yang diperintahkan Allah untuk menyampaikan agama Allah
(Islam) kepada umat-Nya.[3]
Islam sebagai agama wahyu, dapat dilihat melalui wahyu
Allah dalam ayat-ayat al-Qur’an diantaranya:
“Ketika
Tuhannya berfirman kepadanya: “Islam-lah wahai dikau Ibrahim,” Ibrahim
menjawab: “Aku telah ber-Islam kepada Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Baqarah: 131).
“Nabi
Nuh berkata: “Dan aku diperintahkan (oleh Allah) untuk menjadi seorang dari
golongan muslimin.” (QS. Yunus: 72).
“Nabi
Musa berkata kepada kaumnya: “Ya kaumku, bila kalian beriman kepada Allah,
bertawakal dirilah kepada-Nya jika benar-benar kalian muslimin.” (QS. Yunus: 84).
“Dia
(Allah) telah menamai kamu semua sebagai orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. Al-Hajj: 78).[4]
Demikian tadi beberapa
penjelasan dalam al-Qur’an mengenai Islam sebagai agama wahyu. Dapat
disimpulkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama samawi (wahyu) yang bersumber
dari Allah, dzat yang paling benar dan mengetahui kebenaran. Islam sebagai agama
wahyu telah diturunkan oleh Allah kepada umat-Nya melalui nabi dan rasul-Nya,
dari sejak nabi Adam sampai nabi terakhir kita, yaitu nabi Muhammad saw.
B. Ciri-ciri Islam Sebagai Agama Wahyu
Islam sebagai agama wahyu memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1.
Berkembang secara
revolusi, diwahyukan Tuhan.
Jika agama-agama lain namanya ada setelah pembawa ajarannya telah tiada,
maka nama Islam sudah ada sejak awal kelahirannya. Allah swt. sendiri yang
memberikan nama untuk agama Islam ini, seperti dalam QS. Ali Imran ayat 19 yang
artinya:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah
Islam.”
Ini merupakan salah satu keistimewaan dan sekaligus tanda bahwa Islam
adalah satu-satunya agama wahyu yang diridhai Allah untuk umat-Nya. Mengenai
Islam berkembang secara revolusioner, dapat dilihat dari segi pembawa ajaran
Islam (Nabi dan Rasul). Islam merupakan agama semua Nabi dan Rasul beserta
pengikut-pengikut mereka. Hal ini telah dijelaskan dalam firman-firman Allah,
sebagai berikut:
a.
Islam sebagai agama
Nabi Ibrahim dan anak cucunya:
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk
patuh kepada Engkau (Muslim) dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang
tunduk patuh kepada Engkau (Muslim).
(QS. Al-Baqarah: 128).
b.
Islam sebagai agama
Nabi Musa dan pengikutnya:
“Berkata Musa: Hai kaumku, jika kamu beriman kepada
Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar Muslim.” (QS. Yunus: 84).
c.
Islam adalah agama
Nabi-nabi Bani Israil:
“Sesunguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya
(ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan
perkara orang-orang Yahudi oleh Nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah
(Muslim),” (QS. Al-Maidah: 44).
d.
Islam adalah agama
Nabi Muhammad saw.:
“Katakanlah wahai Muhammad: sesungguhnya sembahyangku dan
ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan seru sekalian alam.
Tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan yang demikian saja aku diperintahkan dan aku
adalah orang yang pertama kali berislam.” (QS. Al-An’am: 162-163)
2.
Disampaikan melalui
utusan Tuhan.
Telah jelas bahwa agama Islam itu adalah agama wahyu samawi yang
disampaikan kepada umat manusia dari Allah swt. melalui para Nabi dan Rasul
sepanjang sejarah Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad saw.
3.
Ajaran ketuhanannya
Monoteisme Mutlak (tauhid).
Islam mengajarkan kepada para pengikutnya bahwa tidak ada Tuhan yang berhak
disembah kecuali Allah, hal ini tertuang dalam lafadz syahadat yang merupakan
salah satu rukun Islam.
4.
Memiliki kitab suci
(berupa wahyu) yang bersih dari dari campur tangan manusia.
Kitab suci umat
Islam adalah al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. seperti yang
telah dijelaskan Allah dalam firman-Nya QS. An-Najm ayat 3-4 : “Dan Tiadalah yang
diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” Ini menjadi bukti bahwa kitab suci (al-Qur’an) diturunkan bersih dari
campur tangan manusia, termasuk nabi yang menerimanya sendiri. Jadi wahyu
(kitab suci) ini benar-benar murni bersumber dari Allah swt.
5.
Ajaran prinsipnya
tetap (ajaran tauhid dari waktu ke waktu).
Segala macam
bentuk ajaran dalam Islam merupakan bentuk konsekuensi tauhid. Seperti masalah
ibadah, yang merupakan realisasi dari ketauhidan seseorang. Orang yang menyatakan
bahwa Tuhan yang menciptakan dan memelihara alam semesta adalah Allah,
konsekuensinya ia harus beibadah hanya kepada Allah. [5]
C.
Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahyu, yang artinya suara, api dan kecepatan. Al-Wahyu diartikan
juga dengan bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Dalam wacana keislaman,
al-wahyu lebih dimaknai sebagai pemberitaan, risalah dan ajaran Allah yang
diberikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Dalam kata wahyu terkandung arti
penyampaian sabda atau firman Allah kepada orang-orang yang menjadi pilihanNya
untuk diteruskan kepada umat manusia sebagai pegangan dan panduan hidupnya.[6]
Istilah wahyu dalam al-Qur’an muncul sebanyak 78 kali,
yang masing-masing memiliki makna dan pengertian yang beragam. Dari segi
maknanya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.
Wahyu dalam arti
firman Allah yang disampaikan kepada Nabi dan RasulNya, yang berupa risalah
atau kitab suci. Misalnya pada QS. An-Nisa’ ayat 163.
2.
Wahyu dalam arti
firman (pemberitahuan) Allah kepada Nabi dan RasulNya untuk mengantisipasi
kondisi dan tantangan tugasnya. Seperti dalam QS. Al-A’raf ayat 117.
3.
Wahyu dalam arti
instink atau naluri atau potensi dasar yang diberikan Allah kepada makhlukNya.
Contohnya pada QS. An-Nahl ayat 68.
4.
Wahyu dalam arti
pemberian ilmu dan hikmah. Misalnya dalam firman Allah QS, Al-Isra’ ayat 39.
5.
Wahyu dalam arti
ilham atau petunjuk Allah kepada manusia dalam bentuk intuisi atau inspirasi
dan bisikan hati. Hal ini terdapat dalam QS. Al-Qashash ayat 7.[7]
D.
Epistimologi Wahyu
1.
Sumber Wahyu
Wahyu, baik berupa Qur’an maupun hadits bersumber dari Allah swt. yang
disampaikan kepada orang-orang pilihan-Nya (nabi/rasul). Adapun cara Allah
dalam menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad adalah sebagai berikut:
a.
Malaikat memasukkan
wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad.
b.
Malaikat
menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad saw. berupa seorang laki-laki.
c.
Malaikat
menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad saw. dalam rupanya yang asli.
d.
Wahyu datang kepada
Nabi Muhammad saw. seperti gemerincingnya lonceng.[8]
2.
Karakteristik Wahyu
Wahyu yang berupa al-Qur’an maupun hadits, memiliki
karakteristik yang asli. Pengetahuan mengenai berbagai karakteristik ini
dianggap sangat penting dalam kaitannya dengan pemahaman ajaran ajaran yang
terkandung di dalamnya. Berikut ini adalah beberapa karakteristik wahyu :
a.
Wahyu, baik berupa al-Qur’an
maupun hadits, bersumber dari Tuhan. Pribadi nabi SAW menyampaikan wahyu ini,
memainkan peran yang sangat penting dalam menyampaikan makna wahyu tersebut.
Seperti firman Allah dalam Q.S An-Najm ayat 3-4 yang artinya : “Dan Tiadalah yang
diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
b.
Wahyu, baik berupa
Al-qur’an maupun hadits, merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat
manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu diungkapkan dalam
bentuk umum maupun khusus.
c.
Wahyu itu berupa
nash-nash yang berbahasa arab dengan gaya ungkap bahasa yang berlaku. Orang
arab memiliki gramatika khas dalam bahasa mereka, baik dari segi indikasi lafal
terhadap maknanya, dari segi pemakaian makna yang tidak terkandung pada
lafalnya maupun dari segi kekayaan sastranya. Wahyu ini menggunakan bahasa arab
dengan kaidahnya yang paling tinggi, sehingga Alqur’an mencapai tingkat yang
tidak dapat dijangkau manusia.
d.
Apa yang dibawa
oleh wahyu itu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan
dengan prinsip prinsip akal.
e.
Wahyu itu merupakan
satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah pisah. Diantara tanda kesatuannya
adalah penafsiran satu bagian dengan bagian yang lainnya saling berhubungan.
f.
Wahyu itu
menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia, baik berupa perintah
maupun larangan. Keduanya berkaitan dengan ujaran yang sifatnya langsung
terkait dengan jenis perbuatan tersebut.
g.
Sesungguhnya wahyu,
yang berupa Alqur’an dan hadits, turun secara berangsur angsur dalam rentang
waktu yang cukup panjang. Turunnya sesuai dengan keperluan dan kasus yang
terjadi pada zaman dan tempat dimana ia diturunkan.[9]
3.
Nilai Kebenaran
Wahyu
Nilai kebenaran wahyu bersifat mutlak dan mengikat, juga universal dan
lestari. Karena wahyu bersumber dari Allah swt. dzat yang Maha Besar, mengatasi
segala kebenaran yang ada. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 1-2 yang
artinya: “Alif Lam Mim. Al-kitab itu (al-Qur’an) tidak ada keraguan di dalamnya.
Dialah petunjuk bagi orang-orang Muttaqin”. Serta dalam QS. Al-Baqarah ayat 147 yang artinya: “Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah
kalian meragukannya”. Kebenaran wahyu berbeda dengan kebenaran akal yang
bersifat relatif.[10]
E. Wahyu Kauniyyah dan Qur’aniyyah
Wahyu yang diturunkan oleh
Allah swt. berbentuk wahyu qur’aniyyah (qauliyyah) dan wahyu kauniyyah. Ayat Qur`aniyah adalah ayat Allah yang
tersurat, sedang ayat kauniyyah adalah ayat Allah yang tersirat.
Ayat Qur`aniyah
merupakan wahyu Allah yang tersurat di dalam Al-Qur`an dan merupakan bagian
dari susunan Mush-haf Al-Qur`an. Adapun yang dimaksud dengan ayat kauniyyah adalah hukum alam ciptaan Allah yang berlaku pada
alam raya. Di antara ayat Qur`aniyah dengan ayat kauniyyah terdapat munâsabah, korelasi dan
keserasian. Keduanya, jika dikaji secara mendalam
akan melahirkan dua disiplin ilmu, ilmu-ilmu al-Qur`an
dan ilmu-ilmu kealaman, serta melahirkan dua
jenis kepakaran,
yaitu ulama dan ilmuwan.[11]
F.
Posisi Akal
Terhadap Wahyu
Di samping wahyu, ada pula akal, yang merupakan salah
satu hidayah yang diberikan Allah kepada makhlukNya. Akal dan wahyu seringkali
dikontraskan sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan tentang kebenaran. Akal
merupakan kunci untuk mendapatkan pengetahuan, baik pengetahuan yang bersumber
dari fenomena penciptaan (al-ayat kauniyah)
maupun yang bersumber dari fenomena wahyu (al-ayat
qawliyah).[12]
1.
Pengertian Akal
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’.
Dari segi bahasa kata ‘aql berarti “ikatan,
batasan, atau menahan”, di samping arti sebagai daya berpikir. Menurut
Asy-Syafi’i dan Abi ‘Abdillah, dari Mujahid bahwa akal adalah alat untuk
membedakan baik-buruk, benar-salah (al-‘aql
alat at-tamyiz). Juga dapat diambil pendapat bahwa akal adalah sesuatu yang
dengannya diketahui yang benar (al-haq)
dari yang salah (al-batil).[13]
2.
Akal dan Wahyu
Kauniyyah serta Qur’aniyyah
Dari definisi tentang akal di
atas, jelas bahwa dalam akal masih terdapat dualitas-dualitas konseptual. Maka
dalam hal ini wahyu (al-Qur’an) berperan memberikan tuntunan tentang penggunaan
akal.
Di samping berfikir dengan
akalnya, manusia harus pula mendengarkan
(yasma’u) wahyu yang diajarkan
oleh para nabi dan rasul. Dengan demikian akal (aql) dan naql harus
diperlakukan sebagai dua kekuatan yang saling mengisi dalam memahami kebenaran.[14]
a.
Akal dalam memahami
ayat-ayat kauniyyah
Ayat-ayat kauniyyah adalah objek kajian akal. Akal berguna untuk
merenungkan ayat-ayat kauniyyah yang terpampang dalam galaksi, benda-benda
mati, tumbuhan, hewan, serta manusia. Seperti dalam firman Allah, yang artinya:
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaanNya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk
(menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit,
lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan
akanya.” (QS. Ar-Rum:24)
Dan firman Allah,
“Dan
Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan
bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintahNya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
memahaminya.” (QS. An-Nahl:12)
Serta masih banyak lagi
ayat-ayat kauniyyah lainnya. Dengan demikian akal telah melingkupi semua sisi,
termasuk mengenai ayat-ayat kauniyyah. Maka, orang yang tidak menggunakan
akalnya pada semua sisi ini termasuk orang-orang yang tidak mendapatkan petunjuk
serta berada dalam kesesatan.[15]
b.
Akal dalam memahami
ayat-ayat qur’aniyyah
Objek kajian akal bukan hanya ayat-ayat kauniyyah saja, termasuk pula
ayat-ayat yang diturunkan dalam bentuk wahyu. Seperti dalam firman Allah:
“Katakanlah, ‘Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa
perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan
tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak
mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. ‘Katakanlah, ‘Apakah sama orang
yang buta dengan orang yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memikirkannya.” (QS. Al-An’am:50)
Ini adalah
dorongan untuk berpikir, terutama tentang wahyu, kenabian, dan kebenaran Nabi
Muhammad saw.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Islam adalah satu-satunya agama samawi (wahyu) yang
bersumber dari Allah, dzat yang paling benar dan mengetahui kebenaran. Islam
sebagai agama wahyu telah diturunkan oleh Allah kepada umat-Nya melalui nabi
dan rasul-Nya, dari sejak nabi Adam sampai nabi terakhir kita, yaitu nabi
Muhammad saw. Ciri-ciri Islam sebagai agama wahyu dapat dilihat sebagai
berikut: Berkembang secara revolusi, diwahyukan Tuhan, disampaikan melalui
utusan Tuhan, ajaran ketuhanannya Monoteisme Mutlak (tauhid), memiliki kitab
suci (berupa wahyu) yang bersih dari dari campur tangan manusia, serta ajaran
prinsipnya tetap (ajaran tauhid dari waktu ke waktu).
Wahyu dapat dimaknai sebagai pemberitaan, risalah dan
ajaran Allah yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Wahyu memiliki beberapa
karakteristik diantaranya: wahyu bersumber dari Tuhan, merupakan sebuah
perintah untuk seluruh umat manusia, wahyu diturunkan dengan menggunakan bahasa
Arab, wahyu tidak bertentangan dengan akal, dan yang lainnya. Nilai kebanaran
wahyu tidak diragukan lagi, karena ia bersumber dari Allah, dzat yang Maha
Benar.
Wahyu yang diturunkan kepada manusia dapat berupa
ayat-ayat kauniyyah maupun qur’aniyah. Ayat kauniyyah yaitu ayat yang
dijelaskan secara tersirat, sedangkan ayat qur’aniyah adalah ayat yang dijelaskan
secara tersurat.
Hubungan antara wahyu dengan akal pikiran, akal merupakan
kunci untuk mendapatkan pengetahuan, baik pengetahuan yang bersumber dari
fenomena penciptaan (al-ayat kauniyah)
maupun yang bersumber dari fenomena wahyu (al-ayat
qawliyah). Di samping berfikir dengan akalnya, manusia harus pula
mendengarkan (yasma’u) wahyu yang diajarkan oleh para nabi dan rasul. Dengan
demikian akal (aql) dan naql harus diperlakukan sebagai dua
kekuatan yang saling mengisi dalam memahami kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Hakim, Atang dan Jaih Mubarok. 2012. Metodologi Studi Islam, Cet. 14.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Al-Najjar, Abd. Majid. 1997. Pemahaman
Islam: Antara Rakyu dan Wahyu, Cet.
1. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hady, M. Syamsul.
2007. Islam Spiritual: Cetak-Biru
Keserasian Eksistensi.
Malang:
UIN - Malang Press.
Ismail, Asep Usman.
2014. “Ayat”, (online). (http://lazuardibirru-duniaislam.
blogspot.com/2014/01/ayat.html, diakses tanggal 21 Oktober
2014).
Mudzhar, Atho.
2004. Pendekatan Studi Islam dalam Teori
dan Praktek, Cet. 4.
Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Salimi, Ibnu. Dkk. 1997. Serial
Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Studi Islam 3,
Cet. 1. Surakarta: Lembaga Studi Islam UMS.
Supadie, Didiek
Ahmad. Dkk. 2011. Pengantar Studi Islam,
Cet.1. Jakarta: PT.
Raja
Grafindo Persada.
Qardhawi, Yusuf. 1998. Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu
Pengetahuan, Cet. 5. Jakarta: Gema Insani Press.
Qomar, Mujamil. 2007. Epistemologi
Pendidikan Islam dari Metode Rasional
Hingga Metode Kritik, Cet. 3. Jakarta: Erlangga.
[1] Atho
Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam
Teori dan Praktek, Cet. 4, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 19.
[2] Mujamil
Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari
Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Cet. 3, (Jakarta; Erlangga, 2007),
hlm. 105.
[3] Didiek Ahmad
Supadie, dkk, Pengantar Studi Islam,
Cet.1, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 44.
[4] Ibid., hlm. 45-48.
[5] Ibid., hlm. 44-99.
[6] Ibnu Salimi,
dkk, Serial Al-Islam dan Kemuhammadiyahan
Studi Islam 3, Cet. 1, (Surakarta; Lembaga Studi Islam UMS, 1997), hlm. 14.
[7] Ibid., hlm. 15-17.
[8] Atang Abd.
Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi
Islam, Cet. 14, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 75.
[9] Abd. Majid
al-Najjar, Pemahaman Islam: Antara Rakyu
dan Wahyu, Cet. 1, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 19-23.
[10] Ibnu Salimi,
dkk, Serial Al-Islam dan Kemuhammadiyahan
Studi Islam 3, Cet. 1, hlm. 20.
[12] Ibnu Salimi,
dkk, Serial Al-Islam dan Kemuhammadiyahan
Studi Islam 3, Cet. 1, hlm. 6.
[13]
M. Syamsul Hady, Islam
Spiritual: Cetak-Biru Keserasian Eksistensi, (Malang; UIN - Malang Press, 2007),
hlm. 186-187.
[14] Ibid., hlm. 194.
[15]Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Cet. 5,
(Jakarta; Gema Insani Press, 1998), hlm. 27-29
[16] Ibid., hlm. 47.
trimakasih, sangat bermanfaat sekali tulisan ini, untuk membantu tugas kuliah saya.
BalasHapus