Minggu, 02 November 2014

Islam Sebagai Agama Wahyu



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Islam didefinisikan sebagai wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. sebagai pedoman untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadi, inti Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad. Kita tahu bahwa wahyu itu terdiri dari wahyu yang berbentuk al-Qur’an, serta wahyu yang berbentuk hadis, sunnah nabi Muhammad saw.[1]
Wahyu sebagai sumber asli seluruh pengetahuan memberi kekuatan besar terhadap bangunan pengetahuan bila mampu mentransformasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Wahyu juga memberi sumbangan intelektual yang tidak terjangkau oleh kekuatan rasional dan empiris, sehingga wahyu dapat dijadikan sebuah rujukan pencarian suatu ilmu pengetahuan. Di samping itu, wahyu memiliki sambungan vertikal, yakni dengan Allah SWT yang menguasai seluruh alam raya ini.[2]

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa maksud Islam sebagai agama wahyu?
2.      Bagaimana ciri-ciri Islam sebagai agama wahyu?
3.      Apa pengertian wahyu?
4.      Bagaimana epistemologi wahyu?
5.      Apa saja bentuk-bentuk wahyu?
6.      Bagaimanakah posisi akal terhadap wahyu?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Islam Sebagai Agama Wahyu
Agama dari segi sumbernya bisa dikelompokkan menjadi agama budaya dan agama samawi. Agama budaya adalah agama yang bersumber dari akal atau pemikiran manusia. Sedangkan agama samawi sering disebut juga sebagai agama langit, agama prophetis, yaitu agama yang berasal dari wahyu Allah kepada rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang termasuk dalam kelompok agama wahyu ini adalah agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Namun dalam kenyataan yang sebenarnya Islam adalah satu-satunya agama samawi. Dalam bentuknya yang asli (ketika masing-masing diturunkan kepada nabi Musa a.s. dan nabi Isa a.s.) keduanya (agama Yahudi dan Nasrani) merupakan agama samawi, dalam pandangan al-Qur’an keduannya ini adalah Islam. Karena nabi Musa dan Isa adalah seorang muslim yang diperintahkan Allah untuk menyampaikan agama Allah (Islam) kepada umat-Nya.[3]
Islam sebagai agama wahyu, dapat dilihat melalui wahyu Allah dalam ayat-ayat al-Qur’an diantaranya:
“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Islam-lah wahai dikau Ibrahim,” Ibrahim menjawab: “Aku telah ber-Islam kepada Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Baqarah: 131).
“Nabi Nuh berkata: “Dan aku diperintahkan (oleh Allah) untuk menjadi seorang dari golongan muslimin.” (QS. Yunus: 72).
“Nabi Musa berkata kepada kaumnya: “Ya kaumku, bila kalian beriman kepada Allah, bertawakal dirilah kepada-Nya jika benar-benar kalian muslimin.” (QS. Yunus: 84).
“Dia (Allah) telah menamai kamu semua sebagai orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. Al-Hajj: 78).[4]
Demikian tadi beberapa penjelasan dalam al-Qur’an mengenai Islam sebagai agama wahyu. Dapat disimpulkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama samawi (wahyu) yang bersumber dari Allah, dzat yang paling benar dan mengetahui kebenaran. Islam sebagai agama wahyu telah diturunkan oleh Allah kepada umat-Nya melalui nabi dan rasul-Nya, dari sejak nabi Adam sampai nabi terakhir kita, yaitu nabi Muhammad saw.

B.     Ciri-ciri Islam Sebagai Agama Wahyu
Islam sebagai agama wahyu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Berkembang secara revolusi, diwahyukan Tuhan.
Jika agama-agama lain namanya ada setelah pembawa ajarannya telah tiada, maka nama Islam sudah ada sejak awal kelahirannya. Allah swt. sendiri yang memberikan nama untuk agama Islam ini, seperti dalam QS. Ali Imran ayat 19 yang artinya:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.”
Ini merupakan salah satu keistimewaan dan sekaligus tanda bahwa Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang diridhai Allah untuk umat-Nya. Mengenai Islam berkembang secara revolusioner, dapat dilihat dari segi pembawa ajaran Islam (Nabi dan Rasul). Islam merupakan agama semua Nabi dan Rasul beserta pengikut-pengikut mereka. Hal ini telah dijelaskan dalam firman-firman Allah, sebagai berikut:
a.       Islam sebagai agama Nabi Ibrahim dan anak cucunya:
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau (Muslim) dan jadikanlah di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau (Muslim). (QS. Al-Baqarah: 128).
b.      Islam sebagai agama Nabi Musa dan pengikutnya:
“Berkata Musa: Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar Muslim.” (QS. Yunus: 84).
c.       Islam adalah agama Nabi-nabi Bani Israil:
“Sesunguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh Nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah (Muslim),” (QS. Al-Maidah: 44).
d.      Islam adalah agama Nabi Muhammad saw.:
“Katakanlah wahai Muhammad: sesungguhnya sembahyangku dan ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan seru sekalian alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan yang demikian saja aku diperintahkan dan aku adalah orang yang pertama kali berislam.” (QS. Al-An’am: 162-163)
2.      Disampaikan melalui utusan Tuhan.
Telah jelas bahwa agama Islam itu adalah agama wahyu samawi yang disampaikan kepada umat manusia dari Allah swt. melalui para Nabi dan Rasul sepanjang sejarah Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad saw.
3.      Ajaran ketuhanannya Monoteisme Mutlak (tauhid).
Islam mengajarkan kepada para pengikutnya bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, hal ini tertuang dalam lafadz syahadat yang merupakan salah satu rukun Islam.
4.      Memiliki kitab suci (berupa wahyu) yang bersih dari dari campur tangan manusia.
Kitab suci umat Islam adalah al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. seperti yang telah dijelaskan Allah dalam firman-Nya QS. An-Najm ayat 3-4 : “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).Ini menjadi bukti bahwa kitab suci (al-Qur’an) diturunkan bersih dari campur tangan manusia, termasuk nabi yang menerimanya sendiri. Jadi wahyu (kitab suci) ini benar-benar murni bersumber dari Allah swt.
5.      Ajaran prinsipnya tetap (ajaran tauhid dari waktu ke waktu).
Segala macam bentuk ajaran dalam Islam merupakan bentuk konsekuensi tauhid. Seperti masalah ibadah, yang merupakan realisasi dari ketauhidan seseorang. Orang yang menyatakan bahwa Tuhan yang menciptakan dan memelihara alam semesta adalah Allah, konsekuensinya ia harus beibadah hanya kepada Allah. [5]

C.     Pengertian Wahyu
Kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahyu, yang artinya suara, api dan kecepatan. Al-Wahyu diartikan juga dengan bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Dalam wacana keislaman, al-wahyu lebih dimaknai sebagai pemberitaan, risalah dan ajaran Allah yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Dalam kata wahyu terkandung arti penyampaian sabda atau firman Allah kepada orang-orang yang menjadi pilihanNya untuk diteruskan kepada umat manusia sebagai pegangan dan panduan hidupnya.[6]
Istilah wahyu dalam al-Qur’an muncul sebanyak 78 kali, yang masing-masing memiliki makna dan pengertian yang beragam. Dari segi maknanya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.      Wahyu dalam arti firman Allah yang disampaikan kepada Nabi dan RasulNya, yang berupa risalah atau kitab suci. Misalnya pada QS. An-Nisa’ ayat 163.
2.      Wahyu dalam arti firman (pemberitahuan) Allah kepada Nabi dan RasulNya untuk mengantisipasi kondisi dan tantangan tugasnya. Seperti dalam QS. Al-A’raf ayat 117.
3.      Wahyu dalam arti instink atau naluri atau potensi dasar yang diberikan Allah kepada makhlukNya. Contohnya pada QS. An-Nahl ayat 68.
4.      Wahyu dalam arti pemberian ilmu dan hikmah. Misalnya dalam firman Allah QS, Al-Isra’ ayat 39.
5.      Wahyu dalam arti ilham atau petunjuk Allah kepada manusia dalam bentuk intuisi atau inspirasi dan bisikan hati. Hal ini terdapat dalam QS. Al-Qashash ayat 7.[7]

D.    Epistimologi Wahyu
1.      Sumber Wahyu
Wahyu, baik berupa Qur’an maupun hadits bersumber dari Allah swt. yang disampaikan kepada orang-orang pilihan-Nya (nabi/rasul). Adapun cara Allah dalam menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad adalah sebagai berikut:
a.       Malaikat memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad.
b.      Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad saw. berupa seorang laki-laki.
c.       Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad saw. dalam rupanya yang asli.
d.      Wahyu datang kepada Nabi Muhammad saw. seperti gemerincingnya lonceng.[8]
2.      Karakteristik Wahyu
Wahyu yang berupa al-Qur’an maupun hadits, memiliki karakteristik yang asli. Pengetahuan mengenai berbagai karakteristik ini dianggap sangat penting dalam kaitannya dengan pemahaman ajaran ajaran yang terkandung di dalamnya. Berikut ini adalah beberapa karakteristik wahyu :
a.       Wahyu, baik berupa al-Qur’an maupun hadits, bersumber dari Tuhan. Pribadi nabi SAW menyampaikan wahyu ini, memainkan peran yang sangat penting dalam menyampaikan makna wahyu tersebut. Seperti firman Allah dalam Q.S An-Najm ayat 3-4 yang artinya : “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
b.      Wahyu, baik berupa Al-qur’an maupun hadits, merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu diungkapkan dalam bentuk umum maupun khusus.
c.       Wahyu itu berupa nash-nash yang berbahasa arab dengan gaya ungkap bahasa yang berlaku. Orang arab memiliki gramatika khas dalam bahasa mereka, baik dari segi indikasi lafal terhadap maknanya, dari segi pemakaian makna yang tidak terkandung pada lafalnya maupun dari segi kekayaan sastranya. Wahyu ini menggunakan bahasa arab dengan kaidahnya yang paling tinggi, sehingga Alqur’an mencapai tingkat yang tidak dapat dijangkau manusia.
d.      Apa yang dibawa oleh wahyu itu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip prinsip akal.
e.       Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah pisah. Diantara tanda kesatuannya adalah penafsiran satu bagian dengan bagian yang lainnya saling berhubungan.
f.       Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia, baik berupa perintah maupun larangan. Keduanya berkaitan dengan ujaran yang sifatnya langsung terkait dengan jenis perbuatan tersebut.
g.      Sesungguhnya wahyu, yang berupa Alqur’an dan hadits, turun secara berangsur angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang. Turunnya sesuai dengan keperluan dan kasus yang terjadi pada zaman dan tempat dimana ia diturunkan.[9]
3.      Nilai Kebenaran Wahyu
Nilai kebenaran wahyu bersifat mutlak dan mengikat, juga universal dan lestari. Karena wahyu bersumber dari Allah swt. dzat yang Maha Besar, mengatasi segala kebenaran yang ada. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 1-2 yang artinya: “Alif Lam Mim. Al-kitab itu (al-Qur’an) tidak ada keraguan di dalamnya. Dialah petunjuk bagi orang-orang Muttaqin”. Serta dalam QS. Al-Baqarah ayat 147 yang artinya: “Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah kalian meragukannya”. Kebenaran wahyu berbeda dengan kebenaran akal yang bersifat relatif.[10]
     
E.     Wahyu Kauniyyah dan Qur’aniyyah
Wahyu yang diturunkan oleh Allah swt. berbentuk wahyu qur’aniyyah (qauliyyah) dan wahyu kauniyyah. Ayat Qur`aniyah adalah ayat Allah yang tersurat, sedang ayat kauniyyah adalah ayat Allah yang tersirat.
Ayat Qur`aniyah merupakan wahyu Allah yang tersurat di dalam Al-Qur`an dan merupakan bagian dari susunan Mush-haf Al-Qur`an. Adapun yang dimaksud dengan ayat kauniyyah adalah hukum alam ciptaan Allah yang berlaku pada alam raya. Di antara ayat Qur`aniyah dengan ayat kauniyyah terdapat munâsabah, korelasi dan keserasian. Keduanya, jika dikaji secara mendalam akan melahirkan dua disiplin ilmu, ilmu-ilmu al-Qur`an dan ilmu-ilmu kealaman, serta melahirkan dua jenis kepakaran, yaitu ulama dan ilmuwan.[11]


F.      Posisi Akal Terhadap Wahyu
Di samping wahyu, ada pula akal, yang merupakan salah satu hidayah yang diberikan Allah kepada makhlukNya. Akal dan wahyu seringkali dikontraskan sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan tentang kebenaran. Akal merupakan kunci untuk mendapatkan pengetahuan, baik pengetahuan yang bersumber dari fenomena penciptaan (al-ayat kauniyah) maupun yang bersumber dari fenomena wahyu (al-ayat qawliyah).[12]
1.      Pengertian Akal
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’. Dari segi bahasa kata ‘aql berarti “ikatan, batasan, atau menahan”, di samping arti sebagai daya berpikir. Menurut Asy-Syafi’i dan Abi ‘Abdillah, dari Mujahid bahwa akal adalah alat untuk membedakan baik-buruk, benar-salah (al-‘aql alat at-tamyiz). Juga dapat diambil pendapat bahwa akal adalah sesuatu yang dengannya diketahui yang benar (al-haq) dari yang salah (al-batil).[13]
2.      Akal dan Wahyu Kauniyyah serta Qur’aniyyah
Dari definisi tentang akal di atas, jelas bahwa dalam akal masih terdapat dualitas-dualitas konseptual. Maka dalam hal ini wahyu (al-Qur’an) berperan memberikan tuntunan tentang penggunaan akal.
Di samping berfikir dengan akalnya, manusia harus pula mendengarkan  (yasma’u) wahyu yang diajarkan oleh para nabi dan rasul. Dengan demikian akal (aql) dan naql harus diperlakukan sebagai dua kekuatan yang saling mengisi dalam memahami kebenaran.[14]
a.       Akal dalam memahami ayat-ayat kauniyyah
Ayat-ayat kauniyyah adalah objek kajian akal. Akal berguna untuk merenungkan ayat-ayat kauniyyah yang terpampang dalam galaksi, benda-benda mati, tumbuhan, hewan, serta manusia. Seperti dalam firman Allah, yang artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akanya.” (QS. Ar-Rum:24)
Dan firman Allah,
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintahNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahaminya.” (QS. An-Nahl:12)
Serta masih banyak lagi ayat-ayat kauniyyah lainnya. Dengan demikian akal telah melingkupi semua sisi, termasuk mengenai ayat-ayat kauniyyah. Maka, orang yang tidak menggunakan akalnya pada semua sisi ini termasuk orang-orang yang tidak mendapatkan petunjuk serta berada dalam kesesatan.[15]
b.      Akal dalam memahami ayat-ayat qur’aniyyah
Objek kajian akal bukan hanya ayat-ayat kauniyyah saja, termasuk pula ayat-ayat yang diturunkan dalam bentuk wahyu. Seperti dalam firman Allah:
“Katakanlah, ‘Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. ‘Katakanlah, ‘Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memikirkannya.” (QS. Al-An’am:50)
Ini adalah dorongan untuk berpikir, terutama tentang wahyu, kenabian, dan kebenaran Nabi Muhammad saw.[16]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Islam adalah satu-satunya agama samawi (wahyu) yang bersumber dari Allah, dzat yang paling benar dan mengetahui kebenaran. Islam sebagai agama wahyu telah diturunkan oleh Allah kepada umat-Nya melalui nabi dan rasul-Nya, dari sejak nabi Adam sampai nabi terakhir kita, yaitu nabi Muhammad saw. Ciri-ciri Islam sebagai agama wahyu dapat dilihat sebagai berikut: Berkembang secara revolusi, diwahyukan Tuhan, disampaikan melalui utusan Tuhan, ajaran ketuhanannya Monoteisme Mutlak (tauhid), memiliki kitab suci (berupa wahyu) yang bersih dari dari campur tangan manusia, serta ajaran prinsipnya tetap (ajaran tauhid dari waktu ke waktu).
Wahyu dapat dimaknai sebagai pemberitaan, risalah dan ajaran Allah yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Wahyu memiliki beberapa karakteristik diantaranya: wahyu bersumber dari Tuhan, merupakan sebuah perintah untuk seluruh umat manusia, wahyu diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, wahyu tidak bertentangan dengan akal, dan yang lainnya. Nilai kebanaran wahyu tidak diragukan lagi, karena ia bersumber dari Allah, dzat yang Maha Benar.
Wahyu yang diturunkan kepada manusia dapat berupa ayat-ayat kauniyyah maupun qur’aniyah. Ayat kauniyyah yaitu ayat yang dijelaskan secara tersirat, sedangkan ayat qur’aniyah adalah ayat yang dijelaskan secara tersurat.
Hubungan antara wahyu dengan akal pikiran, akal merupakan kunci untuk mendapatkan pengetahuan, baik pengetahuan yang bersumber dari fenomena penciptaan (al-ayat kauniyah) maupun yang bersumber dari fenomena wahyu (al-ayat qawliyah). Di samping berfikir dengan akalnya, manusia harus pula mendengarkan  (yasma’u) wahyu yang diajarkan oleh para nabi dan rasul. Dengan demikian akal (aql) dan naql harus diperlakukan sebagai dua kekuatan yang saling mengisi dalam memahami kebenaran.


DAFTAR PUSTAKA

Abd. Hakim, Atang dan Jaih Mubarok. 2012. Metodologi Studi Islam, Cet. 14.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Al-Najjar, Abd. Majid. 1997. Pemahaman Islam: Antara Rakyu dan Wahyu, Cet.
1. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hady, M. Syamsul. 2007. Islam Spiritual: Cetak-Biru Keserasian Eksistensi.
Malang: UIN - Malang Press.
Ismail, Asep Usman. 2014. “Ayat”, (online). (http://lazuardibirru-duniaislam.
blogspot.com/2014/01/ayat.html, diakses tanggal 21 Oktober 2014).
Mudzhar, Atho. 2004. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Cet. 4.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salimi, Ibnu. Dkk. 1997. Serial Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Studi Islam 3,
Cet. 1. Surakarta: Lembaga Studi Islam UMS.
Supadie, Didiek Ahmad. Dkk. 2011. Pengantar Studi Islam, Cet.1. Jakarta: PT.  
Raja Grafindo Persada.
Qardhawi, Yusuf. 1998.  Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu
Pengetahuan, Cet. 5. Jakarta: Gema Insani Press.
Qomar, Mujamil. 2007. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional
Hingga Metode Kritik, Cet. 3. Jakarta: Erlangga.


[1] Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Cet. 4, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 19.
[2] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Cet. 3, (Jakarta; Erlangga, 2007), hlm. 105.
[3] Didiek Ahmad Supadie, dkk, Pengantar Studi Islam, Cet.1, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 44.
[4] Ibid., hlm. 45-48.
[5] Ibid., hlm. 44-99.
[6] Ibnu Salimi, dkk, Serial Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Studi Islam 3, Cet. 1, (Surakarta; Lembaga Studi Islam UMS, 1997), hlm. 14.
[7] Ibid., hlm. 15-17.
[8] Atang Abd. Hakim, Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Cet. 14, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 75.
[9] Abd. Majid al-Najjar, Pemahaman Islam: Antara Rakyu dan Wahyu, Cet. 1, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 19-23.
[10] Ibnu Salimi, dkk, Serial Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Studi Islam 3, Cet. 1, hlm. 20.
[12] Ibnu Salimi, dkk, Serial Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Studi Islam 3, Cet. 1, hlm. 6.             
[13] M. Syamsul Hady, Islam Spiritual: Cetak-Biru Keserasian Eksistensi, (Malang; UIN - Malang Press, 2007), hlm. 186-187.
[14] Ibid., hlm. 194.
[15]Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Cet. 5, (Jakarta; Gema Insani Press, 1998), hlm. 27-29
[16] Ibid., hlm. 47.

1 komentar:

  1. trimakasih, sangat bermanfaat sekali tulisan ini, untuk membantu tugas kuliah saya.

    BalasHapus